Merdeka untuk Lomba Blog DJ 2009

Sunday, September 6, 2009 | |

Hari-hari di bulan Agustus.

Trotoar depan sebuah rumah makan padang. Seto, bocah kecil berbaju lusuh, kulit hitam dekil membalut daging dan perutnya yang ramping. Berdiri tertegun melihat lendir lemak rendang daging sapi, masakan padang. Lidahnya terjulur keluar, menyapu bibirnya yang mengering. Pantulan tubuh dan wajah laparnya tertempel jelas di etalase penyaji masakan padang itu. Seorang bapak berdasi, brutal mengeruk lendir lemak rendang daging sapi dan menumpahkannya di piring dengan nasi hangat yang mengepul, ini jam makan siang.

Segerombolan salesman berdasi masuk ke rumah makan tersebut. Melewati Seto yang tak juga beranjak dari tempatnya berdiri. Rasa lapar dan cacing yang dipelihara dalam perutnya tidak juga menunjukkan sikap kompromi. Bahkan mulai meneriakkan amarah dan memukul genderang perang. Nasib mempertemukan Seto dengan rendang daging sapi yang berbumbu dan berlendir lemak aduhai. "Lapar..."

Terpaksa lamunan Amir terputus ditengah jalan. Mamak yang menyewanya untuk bekerja di perempatan jalan Jend. Soedirman, melotot dan mengacungkan sendal jepit ke arahnya. Amir harus kembali bekerja. Mengelap motor yang mengkilap. Mengusap kaca mobil yang bening. Dan pergi diusir tanpa sepeser cepekan. Berjam-jam Amir bergelut dengan nasib yang mempertemukan telapak kakinya dengan panasnya aspal jalanan Ibu Kota. Bertarung sendiri mengejar setoran yang sudah disepakati dengan si Mamak. Lapar dan terik matahari adalah persoalan sepele. Berdamai dengan nasib adalah jalan-jalan satunya untuk mempertahan nyawa yang dikandung badan.

Suasana kampus ricuh. Seorang mahasiswa tiba-tiba berteriak, boikot kuliah. Entah apa yang terjadi, yang pasti seisi kampus berhamburan keluar. Saling bergunjing dengan tatapan mata penuh selidik. Lapangan parkir kampus itu mendadak ramai, yang sebelumnya lengang karena sedang dalam suasana ujian. Kembali mahasiswa itu berteriak, boikot kuliah. "Percuma aku teriak atas nama rakyat, jika kampusku sendiri tidak mmenggubris keluhku!"

Sebelumnya si Mahasiswa bergerombol dengan rekan seperjuangannya. Berbekal kecaman, tuntutan dan permintaan yang dipilok dituliskan dan ditebalkan dalam berlembar-lembar kertas putih besar dan bendera-bendera pergerakkan. Si Mahasiswa menuntut negeri ini untuk mau tunduk sekali saja. Memberikan ruang-ruang kepada nasib bangsa yang ditindas oleh bangsa sendiri. Pengungkapan kebenaran yang hakiki tentang kejahatan masa lalu. Kejahatan kerah putih yang semakin hari semakin membuat gerah kaum grass root. Si Mahasiswa lantang berteriak hentikan kebejatan teroganisasi negeri ini. Merdekakan yang seharusnya merdeka.

Menghembus nafas panjang. Dirapikan tatanan rambutnya, dibelah pinggir dengan sisir paling rapat ujung-ujungnya, disisir serapi mungkin, klimis sudah. Dicium keteknya, minyak wangi kelas delapan ribuan masih menyengat, keluar dari sela ketiaknya. Dikenakannya kemeja warna coklat krim. Dikancingkan, kemudian ujug paling bawah dikempitkan ke selangkangannya. Buru-buru dipakainya celana panjang warna hitam, kemudian dikencangkan dengan sabuk kulit. Terakhir jemari kaki terbungkus sepatu kulit imitasi, tersemir mengkilat. Pagi ini Bayu ada panggilan interview. "Ini yang 28 kali aku diinterview, apakah setiap pagi, ini yang menjadi pekerjaan tetapku?"

Setelah lulus setahun yang lalu, ijazah Bayu yang diperolehnya dari kuliah selama 5 tahun, belum bisa memberikan sesuap nasi. Pengalaman kerja selalu menjadi pengakhir yang sempurna ketika menghadapi Manager Personalia. "Saya hanya memiliki pengalaman kuliah, jadi kalau yang dicari oleh perusahaan ini adalah pengalaman kerja... maaf saya baru mencari pengalaman tersebut!"

Mbah Suto duduk termangu dikursi jati tua. Radio kecil pemberian anak tertuanya, dipangku dan ditimang seperti cucunya sendiri yang pergi jauh merantau bersama orang tuanya. Dengan mata terpejam, jemari keriput Mbah Suto, sibuk mencari gelombang siaran radio kesayangnya. Tiba-tiba mbah Suto terkesiap. Sayup terdengar lagu yang begitu akrab ditelinganya. Lagu yang dulu pernah didendangkan didepan orang sekampung ketika perayaan 17 Agustus. Buru-buru jemari keriput itu sibuk memutar arah antena, mencari gelombang tepat. Ketemu.

Dikepalkan tangannya memicu semangat untuk bibirnya bernyanyi seindah sedia dulu kala. Bibirnya bergetar, stroke tidak menghambat keinginannya untuk menyanyikan lagu itu. Sekuat tenaga Mbah Suto mencoba menegakkan posisi tubuhnya yang terbungkuk. Pelan dan pasti suara lirih parau keluar dari mulutnya. Air mata bergulir dari sudut matanya. Kenangan ketika pentas dipanggung kecil dikampungnya dulu, seakan-akan kembali.

***

16 Agustus 2009, pukul 19.05, malam.

Warga sekampung berkumpul di halaman kecil depan rumah Mbah Suto. Panggung kecil dengan hiasan kertas kerlap kerlip dan bendera Merah Putih terbentang mempercantik panggung itu. Hanya diterangi lampu neon, satu demi satu acara berlangsung dengan meriah. Warga kampung nampak bersuka cita dengan perayaan HUT kemerdekaan RI itu. Bayu nampak sibuk mengatur giliran siapa yang akan pentas dibantu oleh si Mahasiswa yang merangkap sebagai fotografer dokumentasi acara tersebut.

Anggi nampak ceria dengan hadiah yang dia peroleh dari lomba lari klereng. Orang tuanya tersenyum lebar menyambut kebahagiaan anaknya. Dan Amir sibuk membantu bagian konsumsi membagikan makanan kecil ala kadarnya kepada warga kampung yang datang malam itu. Dan acara yang ditunggu-tunggu pun tiba. Semua warga terdiam ketika Mbah Suto dengan kursi rodanya dipapah ke atas panggung. Matanya nampak berkaca-kaca melihat warga kampung yang sebegitu antusiasnya menyambut gemuruh tepuk tangan ketika. Bayu mengumumkan mbah Suto akan menyanyikan sebuah lagu.

Kembali warga kampung mendadak terdiam, ketika Mbah Suto mulai memetik ukulele kesayanganya. Stroke telah melumpuh mulut dan sebagian tubuhnya yang lain. Namun semangat untuk bisa bernyanyi di HUT Kemerdekaan RI meyakinkan hati Mbah Suto untuk mempersembahkan yang terbaik untuk malam itu. Mbah Suto dengan ukulelenya, dan iringan tepuk tangan dari warga kampung yang terkesima, ketika mendendangkan lagu Rayuan Pulau Kelapa ciptaan Ismail Marzuki.

Tanah airku Indonesia
Negeri elok amat kucinta
Tanah tumpah darahku yang mulia
Yang kupuja sepanjang masa

Tanah airku aman dan makmur
Pulau kelapa yang amat subur
Pulau melati pujaan bangsa
Sejak dulu kala

Reff:

Melambai lambai
Nyiur di pantai
Berbisik bisik
Raja Kelana

Memuja pulau
Nan indah permai
Tanah Airku
Indonesia

***

17 Agustus 2009, Pukul 7.02, pagi.

SD impres itu tak nampak seperti dulu kala. Bangunannya tak lagi nyaman dan aman untuk belajar. Genting tak lagi rapat, tembok tak mulus, bahkan ompong disana-sini. Dulu saat diresmikan oleh pak Lurah SD ini begitu Indah. Taman terawat rapih. Tiang bendera dicat putih mengkilap. Pelataran upacara tak berdebu. Bahkan rata tertutup semen padat.

Sekarang ada upacara Bendera. Ini 17 Agustus setiap siswa diwajibakan berseragam, lengkap dengan topi dan dasi. Namun tidak harus bersepatu jika memang sudah hilang atau rusak. Atau memang sepatu mahal untuk dibeli. Tapi tanpa sepatu dan hanya bersendal jepit usang. Anggi bersemangat untuk mengikuti upacara bendera di sekolahannya.

Peluh menetes ditengkuk, dijidat kemudian membasahi topinya. Di leher pun tak kalah bercucuran, mengguyur dasi mungilnya. Dipunggung pun sama, menyumbangkan risih dibajunya yang putih kumal. Tak urungkan sikap hormat Anggi kepada sang Merah Putih yang dikibarkan di Upacara Bendera di Sekolahannya. Diiringi sumbang lagu Indonesia Raya yang dinyanyikan serempak oleh teman-teman sebayanya. Matanya tak bergeming melepas sang merah putih merangkak menggapai puncak tiang bendera. Terik sang Matahari belum terlalu murka. Awan berarak disebalik tiang besi karatan. Pelan dan pasti Merah Putih menunjukkan tariannya disela gejolak angin yang lirih. "Kapan sampai puncaknya, jika pelan-pelan kayak gitu?" Gumam Anggi.

***

Tulisan diatas hanyalah sebuah tulisan refleksi saya tentang kemerdekaan. Kemerdekaan itu adalah kebersamaan. Menemukan romantisme ditengah-tengah gejolak carut marut bangsa ini. Bagaimana kemerdekaan adalah menemukan kembali patriotisme dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada dalam kehidupan kita. Kemerdekaan bagi saya adalah persoalan humanisasi, kembali ke hakekat kita sebagai manusia yang memiliki kemandirian disamping kelebihan dan kekurangan yang sepaket ada dalam diri kita.

Persoalan atau permasalahan baik dalam diri kita atau bangsa ini akan selalu ada dan tidak akan pernah hilang. Tapi bagaimana kita menjadi cerdas, menyikapi dan mensiasati persoalan-persoalan itulah kemerdekaan yang sesungguhnya. Indonesia itu kaya, Indonesia itu indah, Indonesia itu tidak banyak menagih. Tapi Indonesia akan tetap menjadi Indonesia yang kosong apabila kita tidak mengisinya dengan hal-hal yang membangun, mulai dari diri sendiri selesaikan kemudian rencanakan untuk kemaslahatan. Amin.

Tulisan ini juga saya persembahkan untuk memerdekakan diri mengungkapkan ekspresi. Dan kesempatan itu diberikan oleh dijaminmurah.com. Sebuah portal penyedia layanan hosting termurah. Yang berani dan menghargai kemerdekaan bahkan sebrutal mungkin untuk kita memilih beberapa paket termurah yang dijaminmurah.com sediakan. Diantarnya adalah :

paket freedom - beli hosting gratis domain

paket blogger - cocok buat blogger

paket server US! - hosting murah server USA

paket standard - pas dikantong

registrasi domain - domain murah

Merdekakan diri anda untuk memilih paket yang sesuai, dan itu semua hanya bisa didapatkan di dijaminmurah.com.

0 comments:

Post a Comment